PEREMPUAN TIDAK BERCERITA TAPI PRENGAT PRENGUT

     Perempuan sering kali dianggap sebagai makhluk yang memiliki emosi lebih kompleks dibandingkan laki-laki. Anggapan ini bukan tanpa alasan, mengingat faktor biologis, psikologis, dan sosial yang saling berinteraksi dalam kehidupan mereka. Namun, di balik kompleksitas itu, ada realitas yang sering kali diabaikan: kondisi emosional yang kurang stabil, yang dapat memengaruhi kualitas hidup seorang perempuan dan orang-orang di sekitarnya. Perempuan sering dianggap suka prengat-prengut—alias mudah menunjukkan ekspresi tidak puas atau cemberut—karena beberapa alasan yang sebenarnya cukup kompleks dan berakar pada kepribadian, pengalaman, hingga cara mereka mengekspresikan emosi.

    Kondisi emosional yang kurang stabil pada perempuan dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Secara biologis, perubahan hormon yang terjadi selama siklus menstruasi, kehamilan, pascapersalinan, dan menopause dapat memengaruhi suasana hati. Penurunan atau peningkatan hormon tertentu seperti estrogen dan progesteron dapat menyebabkan perempuan merasa cemas, mudah marah, atau sedih tanpa alasan yang jelas. Selain itu, gangguan seperti premenstrual dysphoric disorder (PMDD) atau postpartum depression juga menjadi contoh nyata dampak hormon terhadap stabilitas emosional. Secara psikologis, perempuan sering kali dihadapkan pada tuntutan yang tinggi, baik dalam peran domestik maupun profesional. Harapan untuk menjadi ibu yang sempurna, pasangan yang suportif, dan pekerja yang kompeten dapat menciptakan tekanan emosional yang besar. Jika tekanan ini tidak dikelola dengan baik, perempuan dapat mengalami stres kronis, kecemasan, atau bahkan depresi. Faktor ini diperparah oleh stigma sosial yang sering kali membuat perempuan enggan mencari bantuan profesional, karena takut dianggap lemah atau tidak kompeten.

    Dari sisi sosial, budaya patriarki yang masih kuat di banyak masyarakat turut berperan dalam memengaruhi kondisi emosional perempuan. Ketidaksetaraan gender, pelecehan, diskriminasi, dan kekerasan berbasis gender adalah beberapa isu yang sering dialami perempuan dan dapat meninggalkan luka emosional yang mendalam. Trauma akibat pengalaman tersebut sering kali memunculkan gangguan emosional seperti post-traumatic stress disorder (PTSD), yang jika tidak ditangani dapat berlanjut dalam jangka panjang. Dampak dari kondisi emosional yang kurang stabil ini tidak hanya dirasakan oleh perempuan itu sendiri, tetapi juga oleh lingkungan sekitarnya. Dalam hubungan interpersonal, perempuan yang mengalami ketidakstabilan emosional mungkin sulit untuk menjaga komunikasi yang sehat. Mereka bisa menjadi lebih sensitif terhadap kritik, mudah tersinggung, atau menarik diri dari interaksi sosial. Hal ini dapat menciptakan jarak emosional dengan pasangan, keluarga, atau teman, yang pada akhirnya memperburuk isolasi dan perasaan kesepian. Namun, penting untuk dicatat bahwa kondisi emosional yang kurang stabil bukanlah suatu kelemahan atau kegagalan pribadi. Sebaliknya, ini adalah sinyal bahwa tubuh dan pikiran memerlukan perhatian lebih. Salah satu langkah awal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental. Perempuan perlu diberikan ruang untuk berbicara tentang perasaan mereka tanpa takut dihakimi. Komunitas yang suportif, baik di dunia nyata maupun online, dapat menjadi tempat yang aman untuk berbagi pengalaman dan mendapatkan dukungan.

     Perempuan umumnya lebih ekspresif secara emosional dibandingkan laki-laki. Ketika ada sesuatu yang mengganggu, mereka cenderung menunjukkan ekspresi alih-alih memendamnya. Prengat-prengut ini kadang adalah bentuk komunikasi non-verbal yang mengatakan, "Ada sesuatu yang perlu kamu perbaiki!. Kadang, perempuan punya harapan kecil yang tak diungkapkan, berharap orang lain (terutama pasangannya) akan peka dan mengerti. Ketika harapan itu tidak terpenuhi, muncullah prengat-prengut sebagai isyarat, "Coba lebih perhatikan aku, dong". Stereotip bahwa perempuan sering prengat-prengut juga bisa membuat kebiasaan ini terlihat lebih menonjol daripada kenyataannya. Faktanya, semua orang—baik perempuan maupun laki-laki—bisa merasa kesal dan menunjukkan ekspresi tidak puas.

"Suka prengat-prengut bukan karena perempuan ingin cari masalah, tapi karena mereka lebih peka terhadap emosi dan ingin sesuatu diperhatikan. Jadi, daripada kesal, cobalah mengubah sudut pandang: anggap itu sebagai cara mereka meminta perhatian lebih. Siapa tahu, perhatian kecil dari Anda bisa mengubah ekspresi prengat-prengut menjadi senyum manis"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KADERISASI ATAU KADERIHATI : LENSA MINDSET LIAR YANG VISUAL